Hutan itu memang penuh misteri. Apalagi hutan belantara seperti di Kalimantan. Buat para pembikin film, hutan menyimpan 1001 ide cerita. Pun demikian para sineas di Hollywood Amerika, yang sangat piawai mengemas tontonan menarik nan memanjakan mata. Hutan yang paling banyak menyedot perhatian mereka tentu saja adalah hutan Amazon di Amerika Selatan.
Akan tetapi, beberapa sineas juga menjadikan hutan di Indonesia sebagai sumber cerita atau latar tempat film-film mereka, termasuk hutan Kalimantan. Selain hutannya, Kalimantan juga memiliki keunggulan berupa etnis Dayak yang eksotis, dengan beragam adat, budaya, dan peradaban yang relatif belum tergali.
Salah satu film yang paling saya sukai adalah Anaconda: The Hunt of Blood Orchid. Kisah pencarian anggrek berdarah di pedalaman hutan Kalimantan. Suasana hutan ditampilkan begitu lekat dalam film ini. Konon, di Kalimantan memang terdapat beragam jenis anggrek yang sangat disukai masyarakat barat.
Apalagi anggrek yang satu ini katanya bisa menjadi obat awet muda. Akan tetapi, untuk mendapatkannya tidak mudah karena di hutan Kalimantan juga diketahui terdapat ular-ular raksasa. Ular python misalnya, panjangnya bisa mencapai belasan meter. Itu yang sudah ditemukan. Sedangkan Anaconda lebih besar lagi.
Film lainnya yang juga laris manis di pasar film adalah Jumanji. Pemain utamanya sangat terkenal Robin Williams dan Kirsten Dunst. Film ini berdasarkan novel berjudul Jumanji yang menjadikan permainan ular tangga khas Indonesia sebagai sumber inspirasi cerita. Sebuah permainan yang kemudian diolah menjadi suatu hal yang mengasyikkan sekaligus mengerikan dan berbahaya. Dalam film ini secara jelas disebutkan bahwa Jumanji adalah permainan yang berasal dari Kalimantan. Itulah sebabnya, hutan dan beragam hewan menjadi sajian yang seru dalam film ini.
Masih ada sederet film lain yang juga menjadikan Kalimantan atau Dayak sebagai latar atau inspirasi film. Sebut saja misalnya film The Sleeping Dictionary, kisah orang Inggris yang jatuh hati pada gadis Dayak di Sarawak. Atau film Farewell to the King, yang bercerita tentang tentara Sekutu, yang tidak mau balik membela negaranya karena sudah kadung jatuh hati dengan komunitas masyarakat Dayak di Kalimantan.
Ada juga serial yang sempat booming di Amerika Serikat berjudul Commander in Chief yang dibintangi oleh Naomi Watts. Pada salah satu episodenya, terdapat kisah penumpasan terorisme di perbatasan Indonesia – Malaysia di Kalimantan. Pasukan Amerika Serikut ikut membantu tentara dan polisi antiterorisme Indonesia. Juga film The Agency, yang bercerita tentang agen Amerika Serikat membantu menumpas upaya kudeta terhadap seorang gubernur di salah satu provinsi Kalimantan.
Film-film masa lalu juga banyak yang menjadikan Kalimantan (Borneo) sebagai inspirasi, bahkan menjadi judul filmnya. Film pertama yang diketahui menjadikan Borneo sebagai ide film adalah pada 1931. Judul filmya East of Borneo produksi Universal Studio. Pada 1934, hadir film The Beast of Borneo, lalu pada 1941 juga lahir film The Wild Man of Borneo. Produser Inggris dan Filipina juga sempat bekerja sama memproduksi film Hell to Borneo, pada 1964.
Tentu, tidak sedikit film Indonesia yang menjadikan Kalimantan atau Dayak sebagai inspirasi. Meskipun sesungguhnya bisa lebih banyak lagi film bertemakan Kalimantan dan Dayak. Begitu banyak kisah dan inspirasi yang dapat digali. Data dari filmindonesia.or.id menyebutkan tak kurang dari lima film nasional bertemakan Kalimantan yaitu Danum Baputi: Penjaga Mata Air (2015), Erau Kota Raja (2015), Perawan Seberang (2013), Amtenar: Sahaja Jasa yang Terabaikan (2006) dan Suket the Movie (2019). Di luar itu, masih ada film Batas, Hati Borneo, dan Buen.
Semoga saja, sineas Indonesia semakin banyak yang menjadikan Kalimantan dan Dayak sebagai inspirasi film. Bukan hanya sineas nasional, tapi juga sineas lokal di Kalimantan, yang seharusnya lebih bersemangat menggali dan mengangkat kearifan lokal daerah untuk menjaga kelestarian alam Indonesia dalam bentuk film komersial, yang ditonton banyak orang.
Masa sineas Hollywood dan negeri lain mau mengangkatnya, sedangkan warga lokal tidak?