PALANGKA RAYA, HALODAYAK.COM – Wakil Gubernur (Wagub) Kalimantan Tengah (Kalteng) Edy Pratowo melakukan kunjungan ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispursip) Kalteng. Kunjungan ini dilatarbelakangi oleh keprihatinannya terhadap kondisi fasilitas perpustakaan yang sudah tua dan kurang memadai.
Bangunan utama yang telah berdiri lebih dari 40 tahun ini kini tidak lagi mencerminkan semangat literasi yang seharusnya dijunjung tinggi. Bagi Wagub, revitalisasi perpustakaan bukan hanya soal memperbaiki fisik bangunan, tetapi juga berkomitmen pada peningkatan kualitas layanan publik di bidang literasi.
“Dari perspektif masyarakat, perpustakaan bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah simbol harapan, tempat di mana masa lalu dan masa depan bertemu. Banyak warga yang masih mengandalkan akses ke buku dan arsip untuk pendidikan, pengetahuan sejarah, bahkan hiburan,” ungkapnya dalam pertemuan tersebut, belum lama ini.
Meskipun fasilitas terbatas, tingginya kunjungan masyarakat ke perpustakaan menunjukkan bahwa minat terhadap literasi belum pudar dan masih membutuhkan sentuhan untuk membangkitkannya kembali. Kunjungan Wagub ini juga menegaskan perhatian serius dari Pemerintah Provinsi, terutama dari Gubernur Agustiar Sabran yang mendorong setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD), termasuk Dispursip, untuk melakukan pembaruan.
Namun, di tengah kebijakan efisiensi anggaran, masih muncul pertanyaan tentang langkah konkret yang bisa diambil.
“Dari sisi birokrasi, proses perbaikan tidak selalu mudah. Ada banyak tantangan teknis dan administratif yang harus diatasi,” jelas Wagub.
Edy Pratowo juga menekankan bahwa pembaruan fasilitas tidak hanya terbatas pada pengecatan dinding atau penggantian furnitur, tetapi harus mencakup pembaruan sistem layanan, termasuk digitalisasi arsip dan koleksi buku. Ini sangat penting agar perpustakaan dapat bersaing di era digital yang serba cepat dan berbasis teknologi.
“Ini adalah momentum untuk mendefinisikan kembali peran perpustakaan dalam masyarakat modern. Bukan hanya sebagai tempat penyimpanan buku, tetapi juga sebagai pusat belajar berbasis teknologi, ruang inklusi sosial, dan penjaga warisan intelektual. Sekarang, bola ada di tangan pemerintah,” pungkasnya. (Uni/Vgs)