Halodayak.com – Tangan mereka gemulai mengiringi hentak musik. Senyum simpul terus mengembang. Lincah gerak kaki para gadis belia itu, selayak bermain dengan gembira.
Lepas tengah hari, usai dibalur hujan sejak pagi, tarian kreasi baru yang terinspirasi dari permainan lawas, anak-anak jaman dulu, balogo, ditampilkan dalam rangkaian Festival Budaya Dayak Maanyan, Warukin, Tabalong,
Tarian yang dibawakan enam anak perempuan itu, sejatinya bertutur tentang nilai kebersamaan, semangat meraih harapan, juga pekatnya hubungan sosial yang berlangsung kala itu.
Diujung penampilan, wajah menggemaskan, serta kemampuan menyelaraskan gerak dan musik, lekas mengundang tepuk tangan penonton. Kendati dipersiapkan hanya dalam waktu 2 Minggu, Elsa Ruari (21), pelatih tari Balogo tersebut, mengaku puas dengan penampilan anak didiknya.
Menurut Elsa, yang kini masih berkuliah pada semester 4, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Tabalong itu, penciptaan koreografi, tata busana, hingga seleksi penari, dilakukannya sendiri. “Sudah terbiasa,” ujarnya saat ditemui di halaman Balai Adat Dayak Maanyan, Warukin, Minggu (20/2/2022).
Bergelut dengan seni tari, ungkap Elsa, tak didapatinya dari garis keluarga. Ketertarikan Elsa, berawal dari kegemarannya menyaksikan pertunjukan tari saat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan. Soal umur, Elsa mengingat, kala itu ia masih duduk di kelas 4 sekolah dasar.
“Dalam prosesi perkawinan adat Dayak Maanyan, selalu ditampilkan tarian. Saya senang melihatnya. Kayaknya kalo jadi penari itu, perhatian orang tertuju pada kita,” kata Elsa.
Ketertarikan itulah yang kemudian membawa Elsa bergabung dengan sanggar seni di Warukin, dan menabalkan kesenangannya pada seni tari.
Karena terbiasa, insting lantas terasah. Menemukan ide, mencipta koreografi, hingga desain busana, diakui Elsa tak harus melalui kondisi tertentu. “Kadang pas lagi dijalan, atau saat melihat aktifitas masyarakat, muncul ide. Saya sendiri memang tak punya syarat tertentu, misalnya suasananya harus hening, ide bisa muncul kapan dan dimana saja,” terangnya.
* * *
Menjaga Budaya
Perkara regenerasi, bisa jadi bukan persoalan mudah. Paparan digital dengan ragam sajian menarik yang mudah diakses semua kalangan, merupa tantangan yang kerap dihadapi.
Namun, menjaga budaya nenek moyang yang sarat dengan nilai positif, ujar Elsa, juga menjadi kewajiban. “Tantangan semacam itu, susah dihindari. Karena sudah menjadi kebiasaan yang mafhum di masyarakat kita,” ungkapnya.
Beruntung, lanjutnya, sejumlah sekolah di lingkungan Desa Warukin, memasukkan seni tari dalam pelajaran tambahan (ekstrakurikuler). Upaya memantik ketertarikan generasi muda, dirasa Elsa menemukan ruang tersendiri.
Selain itu, ujar Elsa, para orangtua juga mendukung sepenuhnya, terlebih jika anak mereka terpilih saat menampilkan tarian adat maupun kreasi, dalam even besar. “Orangtua tentu bangga, dan ini membuat kita terbantu,” ucapnya.
Kendati dihantam pandemi yang membuat even tahunan kerap batal terlaksana, Elsa masih optimis hal itu bisa disiasati. Kedepan, ujarnya, untuk menjaga semangat anak didiknya, agar mau mengikuti latihan rutin, Elsa berupaya membuat kanal daring. “Selain mensiasati kondisi, saya ingin agar generasi penerus tetap terjaga semangatnya,” pungkasnya.(EL)