Home News Bolehkah Presiden Dua Periode Mencalonkan Jadi wakil presiden ?

Bolehkah Presiden Dua Periode Mencalonkan Jadi wakil presiden ?

Jokowi dan Prabowo Kunjungan Kerja di Maluku. ©2022 halodayak.com

halodayak.com – Keakraban Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjadi sorotan. Keduanya terlihat akrab saat Jokowi melakukan kunjungan kerja selama dua hari di Maluku. Seharian Prabowo terlihat mendampingi Jokowi sejak Rabu (14/9) hingga Kamis (15/9).

Menariknya, momen itu berbarengan dengan isu presiden yang sudah menjabat dua periode boleh mencalonkan kembali sebagai calon wakil presiden. Pasal 7 UUD 1945 dinilai tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden.

Hal ini lantas menimbulkan pro kontra. Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menjelaskan, dalam membaca suatu norma hukum tak bisa hanya sekadar teks atau harfiah saja. Ada penafsiran yang bersifat sistematis atau harus dilihat dalam konteks lebih besar maupun historisnya.

“Pasal 7 itu sebenarnya original intentnya jelas pembatasan kekuasaan karena waktu pasal 7 itu masuk dalam amandemen kan kita dalam konteks pasca reformasi, pada tahun 1998 itu sudah keluar TAP MPR yang langsung membatasi kekuasaan presiden dan wakil presiden. Jadi memang idenya pembatasan kekuasaan jangan dipelintir pelintir lagi kalau udah presiden jadi boleh wapres,” kata Bivitri saat dihubungi, Jumat (16/9).

Menurutnya, dalam membaca pasal 7 harus mencermati Pasal 8 ayat 1 UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.

“Maksudnya kalau kemudian mantan presiden jadi wakil presiden kemudian presidennya mangkat, artinya wakil presidennya enggak bisa lagi jadi presiden karena dia dua sudah kali, artinya ada pertentangan,” jelas Bivitri.

Bivitri berujar, ada kekeliruan dalam membaca pasal 7 tersebut. Terlebih, tidak etis jika Jokowi mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.

“Bukankah seorang Jokowi itu merasa jabatannya mundur, terus jadi nyari nyari jabatan wapres itu menurunkan kualitas dan sangat terkesan kesan mencari jabatan, jadi tentu saja tidak etis,” kata dia.

 

“Harusnya enggak usah diperbincangkan lagi nih, jadi kita sarankan saja tidak usah terlalu diperpanjang soal ini karena tidak etis, inkonstitusional, dan menurunkan kualitas Pak Jokowi sendiri,” ucapnya.

Senada dengan itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan menyatakan, bahwa presiden yang dua kali menjabat tak bisa mencalonkan sebagai calon wakil presiden. Ada dua sebab, yaitu karena original intent konstitusi dan sistem Pemilu.

Usep menjelaskan, bila merujuk original intent atau maksud pembuat ketentuan hukum dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, ialah masa jabatan dan pemilihan sistem pemerintahan presidensial punya maksud untuk membatasi kekuasaan. Dipilihnya sistem presidensial oleh pembuat konstitusi menyertai kesadaran sistem parlementer pada 1945-1959 yang usia pemerintahannya amat pendek dan kesadaran jabatan presiden era Soeharto dan Soekarno yang terlalu lama.

“Jadi, maksud utama Pasal 7 UUD NRI 1945 adalah membatasi dalam bentuk masa jabatan 5 tahun dan hanya bisa satu kali dipilih kembali,” ucapnya.

 

Selain itu, istilah yang penting dirujuk dalam original intent adalah satu paket masa jabatan. Jadi, pemilu eksekutif nasional adalah pemilu presiden dan wakil presiden yang satu paket. Sehingga, jabatan eksekutif nasional adalah jabatan pasangan presiden dan wakil presiden yang satu paket.

“Pemilu presiden dan wakil presiden Indonesia tidak dipisah. Ini berbeda dengan pemilu presiden dan pemilu wakil presiden Filipina, yang dipisah,” terangnya.

Usep menuturkan, Istilah original intent ‘masa jabatan’ tersebut menguatkan sebab kedua, mengapa presiden dua kali menjabat tidak bisa mencalonkan sebagai wakil presiden. Hal itu itu berpegang pada prinsip sistem pemilu mayoritas dan bisa berpegang pada Pasal 6A ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945.

Pasal 6A ayat 1 itu berbunyi, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Ayat 3 berbunyi, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Usep menjelaskan, dalam konsep elektoral, ketentuan itu merupakan wujud dari sistem pemilu mayoritas. Artinya, dalam satu daerah pemilihan hanya ada satu kursi dan syarat keterpilihannya harus lebih dari 50 persen. Satu kursi di sini artinya satu kursi pasangan presiden dan wakil presiden, bukan satu kursi masing-masing untuk presiden dan wakil presiden.

Maka, presiden yang dua kali menjabat, atau wakil presiden yang dua kali menjabat, tak bisa mencalonkan lagi di pemilu berikutnya. Sebab, maksud jabatan yang sama adalah jabatan satu kursi pada daerah pemilihan pemilu pasang presiden-wakil presiden dalam sistem pemilu mayoritas.

“Kedua, secara aturan tidak bisa. Karena presiden 2 periode, tidak bisa lagi maju sebagai cawapres. Karena menurut pasal 8 (pasal 8 Ayat 1 UUD NRI 1945) cawapres akan menggantikan presiden jika mangkat, berhenti, atau diberhentikan. Jika jokowi jadi wapres, dia tidak bisa menggantikan presiden, karena sudah 2 periode jadi presiden,” jelas Usep.

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menyebut presiden yang telah terpilih dua periode masa jabatan boleh mencalonkan kembali sebagai calon wakil presiden dalam pemilu. UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden.

“Soal presiden yang telah menjabat dua periode lalu mencalonkan diri sebagai cawapres, itu tidak diatur secara eksplisit dalam UUD,” ujar Fajar kepada merdeka.com, Senin (12/9).

UUD 1945 Pasal Pasal 7 menjelaskan, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

4 dari 4 halaman

Di dalam aturan tersebut, dapat dimaknai presiden dua periode masih bisa menjabat lagi sebagai wakil presiden. Secara normatif diperbolehkan, tetapi masalahnya terdapat dalam kacamata secara etika politik.

“Secara normatif mau dimaknai ‘boleh’ sangat bisa. Secara etika politik dimaknai ‘tidak boleh’, bisa juga. Tergantung argumentasi masing-masing,” ujar Fajar.

Dia menjelaskan, tidak ada aturan secara eksplisit dalam UUD 1945 presiden menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan sebagai calon wakil presiden. Sebab konstitusi secara eksplisit hanya menyebutkan presiden atau wakil presiden menjabat lima tahun, dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali selama satu periode dalam jabatan yang sama.

“Intinya, itu tidak ada aturan eksplisit di UUD,” kata Fajar.

Sementara, MK memberikan klarifikasi terkait pernyataan Juru Bicara MK Fajar Laksono terkait presiden yang telah menjabat dua periode bisa mencalonkan sebagai calon wakil presiden. Pernyataan tersebut bukan menjadi sikap resmi Mahkamah Konstitusi.

“Pernyataan mengenai isu dimaksud bukan merupakan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi RI,” tulis rilis resmi MK, Kamis (15/9).

Fajar selaku Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK serta juru bicara tidak menyampaikan dalam diskusi formal, resmi, doorstop media, dan pertemuan khusus untuk membahas isu tersebut. Namun, Fajar menjawab melalui wawancara melalui WhatsApp kepada media.

Fajar di luar tugas sebagai juru bicara MK, merupakan pengajar atau akademisi. Karena itu membuka komunikasi dengan media untuk membahas isu aktual.

“Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan selama ini membuka ruang bagi wartawan yang ingin, baik bertemu secara langsung di ruang kerja, melalui chat WA, atau sambungan telepon, guna mendiskusikan isu-isu publik aktual, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik. Umumnya, wartawan ingin mendapatkan tambahan informasi, pemahaman, atau perspektif berbeda guna memperkaya sudut pandang, tidak untuk keperluan pemberitaan,” jelas MK.

Exit mobile version