Teknologi Modifikasi Cuaca: Sains, Agama, dan Kearifan Lokal

Halodayak.com- Sosok Mbak Rara (Rara Istiani Wulandari), pawang hujan di Mandalika menjadi viral di media sosial. Secara saintifik, sebenarnya UPT Hujan Buatan BPPT yang kini bergabung ke dalam BRIN telah menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Jauh-jauh hari BMKG memprediksi, selama seri-2 MotoGP Mandalika 18-20 Maret…

Kearifan lokal terkait solusi persoalan kehidupan sering dihadapkan pada sains dan teknologi modern.

FAHMI AMHAR, Alumnus Vienna University of Technology

Sosok Mbak Rara (Rara Istiani Wulandari), pawang hujan di Mandalika menjadi viral di media sosial. Secara saintifik, sebenarnya UPT Hujan Buatan BPPT yang kini bergabung ke dalam BRIN telah menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Jauh-jauh hari BMKG memprediksi, selama seri-2 MotoGP Mandalika 18-20 Maret 2022 ada potensi cuaca ekstrem. Ada low pressure di perairan selatan NTB, yang semakin mendekat. Ini menjadi pusat pertumbuhan awan hujan dan berpotensi menjadi siklon tropis.

TMC mencegat awan-awan yang terdeteksi radar menuju Sirkuit Mandalika, untuk segera dijatuhkan di luar area.

Namun, pelaksanaannya tak selalu mudah. Awan yang mengancam itu sangat banyak dan berserak di ruang sangat luas, sedangkan kemampuan pesawat penabur garam penyemai hujan itu terbatas. Mereka juga dibatasi instruksi dari Air Traffic Control (ATC).

Pada kondisi itu, upaya teknologi dipandang perlu dilengkapi “kearifan lokal” nonsaintifik seperti Mbak Rara. Kearifan lokal adalah pandangan, pengetahuan, dan aneka strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhannya.

Kearifan lokal terkait solusi persoalan kehidupan sering dihadapkan pada sains dan teknologi modern. Dalam pengaturan sosial dihadapkan pada agama. Contoh jenis pertama, penggunaan ramuan herbal untuk melawan penyakit daripada obat medis kimiawi.

Kearifan lokal jenis kedua, misalnya larangan menikah dengan sepupu sekalipun dibolehkan agama atau berkonsultasi dengan dukun tentang hari baik, sekalipun diharamkan agama.

Barang siapa mendatangi dukun atau tukang ramal lalu memercayai yang dikatakannya, shalatnya ditolak selama 40 hari. (HR. Muslim).

Ramalan masa depan termasuk menahan hujan dengan bantuan pawang (dukun) dipandang perbuatan haram. Dukun meminta bantuan jin untuk “menggeser” atau “menahan” hujan hingga acara usai.

Faktanya seperti di Mandalika kemarin, hujan lebat tidak serta-merta berhenti ketika Mbak Rara melakukan aktivitasnya. Secara saintifik, tidak ada hubungan kausalitas antara aktivitas pawang dan bergeser atau terhentinya hujan.

Nabi juga mengajarkan doa saat turun hujan ataupun shalat Istisqa’ untuk meminta hujan. Keduanya kadang terkabul, kadang juga tidak. Namun, dalam perspektif sosiologi, baik  sains, agama, maupun klenik (kearifan lokal) memiliki beberapa kesamaan.

Pertama, ketiganya berbasis pengetahuan. Bedanya, cara pengetahuan itu dikelola. Klenik dengan mistifikasi, agama dengan keyakinan, sains dengan riset dan eksperimen, yang tentu perlu biaya dan sponsor.

Kedua, terbentuknya elite dan massa. Ada sedikit orang yang tahu mantra sehingga bisa mengendalikan massa pemercaya klenik. Ada sedikit orang yang memahami teks agama sehingga diikuti umat.

Ada sedikit orang yang punya akses pada infrastruktur dan fasilitas riset sehingga mengendalikan konsumen sains dan teknologi. Namun, dalam dunia kini yang didominasi sains dan teknologi, kehadiran Mbak Rara menjadi selingan sekaligus sensasi.

Dia mendadak menjadi selebritas. Kalau sebuah perusahan TMC di Inggris bisa memindahkan hujan dengan biaya hampir Rp 2 miliar dan persiapan enam pekan, Mbak Rara hanya perlu sesajen dan cawan yang dipukul-pukul sebagai modalnya.

Mungkin BRIN perlu membentuk “Pusat Riset Kearifan Lokal”, yang salah satu kelompok risetnya meneliti sains dari pawang hujan. Perguruan tinggi juga mungkin perlu membuka ‘’Fakultas Kearifan Lokal’’, yang salah satu prodinya mendidik calon pawang hujan.

Sayangnya, para pemuja kearifan lokal malah sering kurang arif. Mereka mengeklaim, bangsa yang haus prestasi ini menjadi bangga. Seakan semua urusan dunia berhenti karena Mandalika dan tentu dengan Rara yang mendunia.

Namun, harga minyak goreng dan aneka kebutuhan lain tetap naik. Mengapa tidak ada pawang harga?

Kita jadi teringat ungkapan Romawi kuno, “Berilah rakyat roti untuk mengenyangkan perutnya dan hiburan yang menyenangkan hatinya, maka mereka akan sukarela menanggalkan kebebasan dan hak-hak politiknya.”

“Panem et circenses” atau “roti dan sirkus”. Roti adalah makanan dan sirkus adalah hiburan. Namun, roti kini makin mahal. Sirkus hanya dinikmati elite. Banyak rezim bertahan tanpa memberi rakyat cukup makan dengan dua cara: represi dan nasionalisme.

Maka itu, wajar bila kita mendengar lebih banyak nama Indonesia dielukan sukses menyelenggarakan MotoGP (daripada soal invasi Rusia ke Ukraina). Pawang hujan juga dibuat “mendunia” guna memompa nasionalisme ini.

Jika efektivitasnya berkurang karena ada kritik berdasar pada sains atau agama, masih ada satu resep lagi, yakni represi. Isolasi saja para kritikus tadi, misal dengan label radikal!

Uang yang dihabiskan negara untuk MotoGP Mandalika setara anggaran Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) untuk 200 ribu mahasiswa. Tentu pembela MotoGP akan berdalih, acara ini mendongkrak ekonomi NTB dari pariwisata.

Bahwa 200 ribu mahasiswa itu akan membantu mengentaskan keluarganya dari kemiskinan dan otomatis mendongkrak ekonomi Indonesia, itu mungkin tidak terpikirkan penguasa yang masih percaya takhayul dan klenik berlabel kearifan lokal.(H/dz)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ikuti kami di

5,928FansSuka
11,220PengikutMengikuti
3,002PelangganBerlangganan

berita terakhir